CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 29 Januari 2009

PERANAN PERS DALAM MASYARAKAT DEMOKRATIS DI INDONESIA PADA MASA ORDE BARU DAN REFORMASI


Pers Indonesia Masa Depan

Oleh A Muis

PERMASALAHAN kebebasan pers nasional belum terselesaikan ketika muncul
pula masalah baru, yakni kesulitan ekonomi terutama akibat harga
kertas yang melonjak keras. Masalah baru tersebut tentu dapat
mempengaruhi perkembangan masalah kebebasan arus informasi sosial
melalui pers. Misalnya volume dan keragaman informasi mengecil karena
banyak penerbitan pers gulung tikar.

Tulisan singkat ini memaparkan perkembangan substansi atau keberadaan
media massa cetak (pers) yang berkaitan dengan soal kebebasan dan
tanggung jawabnya. Di dalam perkembangn itu harus dilibatkan soal
kemajuan IT (information technology) sebab IT mau tak mau membuat
masalah kebebasan pers nasional menjadi lebih tajam.

Dengan kata lain, di satu pihak kemajuan IT (baca: ai ti) memaksa pers
berupaya keras untuk mendapatkan kebebasan yang wajar, dengan tanggung
jawab yang wajar - kebebasan dibatasi hanya oleh undang-undang yang
tidak bersifat pencekalan dan kode etik jurnalistik, termasuk hak
jawab dan hak koreksi serta tanggung jawab pidana atau perdata.
Perkembangan IT telah menghadirkan jaringan internet, sebuah gejala
media massa baru yang sangat bebas, yang kini mempunyai sejumlah nama
populer lainnya khususnya cybercom. Kebebasan pers yang tetap "jalan
di tempat" praktis telah diambil alih oleh internet. Di lain pihak
sistem hukum pers nasional juga tetap bersifat konservatif. Artinya,
tetap mempertahankan ketentuan ketentuan yang sudah ketinggalan zaman
yang selalu bersifat mengerem (mencekal) kebebasan pers. Padahal
internet sudah terang-terangan mereduksi sistem hukum pers sedemikian
rupa sehingga tak mempunyai arti penting lagi. Sedang unsur cyberlaw
seperti UU Penyiaran tak mampu mencekal kebebasan internet.

Pergeseran dan kekolotan

Kalau dahulu ungkapan seperti "itu ada di koran" atau "itu ada di TV"
merupakan sikap meyakini kebenaran sebuah kejadian yang bernilai
berita, sekarang ungkapan tersebut telah bergeser kepada ungkapan baru
"itu ada di e-mail" atau "itu ada di internet". Terutama tentang
berita-berita menurut model jurnalisme Barat seperti action news,
crisis news dan spot news.

Misalnya berita kerusuhan, kebakaran hutan, kesemrawutan kehidupan di
kota-kota besar, permukiman kumuh di samping gedung-gedung pencakar
langit, korupsi, pelanggaran HAM dan sejenisnya. Berarti internet
sebagai saluran informasi baru yang sudah memiliki pula ciri-ciri
media massa baru telah menggantikan peranan media massa "tradisional".

Dengan demikian sistem hukum media massa khususnya sistem hukum pers
kian menjadi kolot dan kian menciptakan kesenjangan antara sistem
hukum dengan kemajuan IT. Dalam pengertian lain sudah terjadi
pemekaran revolusi jurnalisme yang keempat. Adalah Hvistendahl yang
mengungkapkan teori bahwa revolusi jurnalisme yang keempat ialah
jurnalisme partisipasi atau pengungkapan kebenaran yang faktual oleh
wartawan (truth-as-I-see-it-reporting). Masyarakat memang cenderung
lebih percaya berita-berita internet atau/dan e-mail daripada
berita-berita media massa "konvensional".

Lebih jauh tentang gejala media massa baru (internet). Internet
sebenarnya berfungsi menggantikan peranan rumor, selentingan, berita
burung atau desas-desus secara tatap muka/dari mulut ke mulut dan
selebaran gelap, meskipun arus informasi "di bawah permukaan" itu
tetap hidup. Sebelum kehadiran internet "komunikasi di bawah
permukaan" itulah yang merupakan pengganti, pengimbang atau
perpanjangan media massa formal (di atas permukaan) karena
kebebasannya tercekal atau "tiarap."

Pasal 28 UUD '45

Sistem hukum pers yang tetap bersifat kolot (konservatif) sebenarnya
juga terkait cukup erat dengan rumusan pasal 28 UUD-45. Rumusan pasal
28 UUD '45 sama sekali tidak tuntas mengenai kemerdekaan mengeluarkan
pendapat secara tertulis. Tidak seperti, misalnya, First dan Fourth
Amendement Konstitusi AS tentang kebebasan pers yang melarang Senat
membuat undang-undang yang menghambat kebebasan pers. Adalah Reinhard
Bork yang menegaskan, bahwa UUD '45 Indonesia sama sekali tidak
membuat rincian bagi pembuat undang-undang tentang bagaimana cara
pembatasan kebebasan pers (dan kebebasan menyatakan pendapat secara
lisan).

Seperti juga pernah diungkapkan oleh Mustamin DM SH, mantan Ketua
Persahi Sulsel dan mantan Dekan Fakultas Hukum Unhas, bahwa rumusan
pasal 28 UUD '45 menyerahkan sepenuhnya pembuatan undang-undang
organik kepada DPR dan Presiden tentang sekian kemerdekaan yang
disebut dalam pasal tersebut. Akibatnya, seperti juga pendapat
Reinhard Bork, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hamburg, Jerman,
para legislator leluasa membuat undang-undang yang bersifat mencekal
kebebasan-kebebasan yang disebut dalam pasal tersebut.

Di lain pihak, pengertian masyarakat umumnya dan pers khususnya, tidak
seperti apa yang dirumuskan oleh Pasal 28 UUD-45 itu. Pihak pers dan
kalangan politisi termasuk tokoh-tokoh LSM beranggapan, bahwa maksud
pasal itu (yang disusun oleh Prof Soepomo dkk) tak membolehkan
pembuatan undang-undang yang bersifat mencekal kemerdekaan berserikat,
berkumpul, mengeluarkan pendapat secara lisan dan tertulis. Karena itu
UU Pers yang berlandaskan Pasal 28 UUD-45 itu tidak boleh memiliki
ketentuan pembreidelan dan sejenisnya. Hal itu dianggap bertentangan
dengan maksud atau jiwa Pasal 28 UUD-45.

Pemahaman baru

Sementara itu pemahaman yang memadai tentang era demokratisasi atau
era keterbukaan dan era globalisasi media (informasi) sangatlah
penting artinya untuk menafsirkan secara tepat maksud Pasal 28 UUD '45
tentang kebebasaan menyatakan pendapat termasuk kebebasan pers. Era
globalisasi media yang menghadirkan jaringan internet global (global
village) sangat kontras dengan undang-undang yang mencekal kebebasan
pers.

Sangatlah janggal makna era informasi, information superhighway, dan
era keterbukaan, jika kebebasan cybercom boleh dikatakan "kebal"
terhadap pembatasan sedangkan pers selalu rawan pencekalan dan harus
selalu "tiarap". Dalam keadaan demikian kearifan pemerintah cq Deppen
RI sangatlah diperlukan guna membebaskan pers dari pembatasan
kebebasan yang tak wajar atau pembreidelan dan semacamnya.

Adalah Tan Sri Dato' Musa Hitam, mantan Wakil PM Malaysia dan kini
utusan khusus Malaysia pada Komisi HAM PBB yang menyatakan baru-baru
ini (27 November 1997) di Kuala Lumpur, bahwa di negara-negara ASEAN
yang sedang menunggu tibanya tahun 2000 banyak norma-norma lama dan
undang-undang lama sudah mulai nampak kuno dan tidak lagi produktif.
Menurut dia, jika kita mau menerima realitas tentang makna kemajuan IT
tetapi kita hendak membatasinya dengan cara-cara lama, akibatnya akan
sia-sia, kita akan ketinggalan zaman. Negara-negara ASEAN, katanya,
sudah tiba waktunya melakukan penyesuaian antara realitas baru di
bidang IT dengan undang-undang dan norma-norma perilaku yang menguasai
media.

Negara-negara ASEAN perlu melakukan penyesuaian atas semua
undang-undangnya di bidang media dengan tuntutan globalisasi dan era
transparansi. Kalau tidak, kata Dato' Musa Hitam, maka kita akan
menjadi benda-benda purbakala (archaic).

( * A Muis, guru besar tetap Unhas dan guru besar tidak tetap Program
Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial UI. )